Jumat, 26 Juni 2015

Menafsirkan Puisi "Hujan Bulan Juni" karya Sapardi Djoko Darmono

Hujan Bulan Juni: Sebuah Penafsiran Sederhana

HUJAN BULAN JUNI
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya

yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan

diserap akar pohon bunga itu                         
1989
(Hujan Bulan Juni  – hal. 90)
Bulan Juni ini, lagi-lagi mengingatkan saya pada puisi di atas. Puisi karya salah seorang penyair besar Indonesia, Sapardi Djoko Damono. Karya-karya puisi Sapardi cukup dikenal masyarakat, termasuk di antaranya oleh mereka yang bukan termasuk pecinta puisi. Sapardi memang dikenal sebagai penyair yang mampu mengolah kata-kata sederhana menjadi sebuah lirik puisi yang sarat makna. Dalam kesederhanaannya, puisi Sapardi membuka ruang tafsir yang begitu luas. Salah satunya adalah puisi Hujan Bulan Juni di atas.
Bila dicermati kata demi kata dan larik demi lariknya, puisi di atas memiliki diksi yang sederhana, bahkan sangat akrab dengan keseharian kita. Melalui kepiawaian Sapardi, kesederhanaan kata-kata tersebut tidak sekedar dirangkai menjadi larik-larik yang sangat indah, tetapi kata-kata tersebut juga diberinya ruh. Sehingga membaca puisi tersebut, pembaca tidak sekedar membaca deretan kata demi kata secara fisik, tetapi pembaca juga dibawa masuk ke dalam suasana tertentu.
Dalam puisi di atas, ‘hujan’ tidaklah sekedar butir air yang jatuh. Oleh Sapardi, ‘hujan’ seolah diberi sebuah jiwa yang memiliki sifat-sifat tertentu (tabah, bijak, arif), dan kemudian dapat pula dilihat perilakunya (dirahasikannya, dihapusnya, dibiarkannya). Hal ini kian diperkuat dengan penggunaan majas personifikasi yang begitu dominan dalam larik-larik puisi tersebut.
‘Hujan’ dalam puisi tersebut seolah menjelma menjadi tokoh yang begitu dekat dengan pembaca. Bahkan barangkali dapat pula menjadi wakil/representasi diri pembaca sendiri. Sebab bukan tidak mungkin, pembaca memiliki rasa yang sama dengan yang dirasakan oleh hujan bulan juni tersebut, yaitu merasakan rindu atau cinta yang ditahan, dirahasiakan, dan sengaja tidak diucapkan. Ya, secara sederhana, puisi tersebut dapat ditafsirkan sebagai sebuah kerinduan yang ditahan, yang dirahasiakan, yang coba dihapuskan, serta yang sengaja untuk tidak diucapkan. Atau lebih jelasnya puisi tersebut menggambarkan seseorang yang memiliki ‘rasa’ – mungkin rindu atau cinta  – kepada orang lain, tetapi karena ‘suatu hal’ seseorang tersebut menjadi ragu-ragu, tidak memiliki keberanian, atau bahkan memang merasa tidak mungkin untuk bisa menyampaikannya. Lantas, secara bijak dan arif, keragu-raguannya serta ketidakberaniannya itu membuatnya untuk mencoba menghilangkan/menghapuskan ‘rasa’ yang dimilikinya itu, dan membiarkanya tetap tak tersampaikan.
Bila dikaitkan dengan kenyataan sehari-hari, judul puisi tersebut (Hujan Bulan Juni), sepertinya memang merupakan sesuatu yang hampir mustahil. Sebab, bulan Juni merupakan bulan yang masuk dalam rentang musim kemarau. Sehingga, hujan tidak mungkin turun di bulan Juni. Terlebih bila kita melihat angka tahun penciptaan puisi tersebut (1989), saat musim kemarau dan musim hujan masih berjalan secara teratur. Nah, karena itulah, hujan harus menahan diri karena tidak mungkin turun di bulan Juni. Jadi, dapat ditafsirkan bahwa ‘hujan bulan Juni’ merupakan metafor dari ‘rindu atau cinta yang ditahan, yang tak mungkin disampaikan’ .
Demikianlah, penafsiran singkat dan sederhana terhadap puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono. Dan tentu saja masih terbuka pula tafsir lain bagi puisi di atas.  Salam

Source:  https://bektipatria.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar