Hujan Bulan Juni: Sebuah Penafsiran Sederhana

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
1989
(Hujan Bulan Juni – hal. 90)
Bulan Juni ini, lagi-lagi mengingatkan saya pada puisi
di atas. Puisi karya salah seorang penyair besar Indonesia, Sapardi
Djoko Damono. Karya-karya puisi Sapardi cukup dikenal masyarakat,
termasuk di antaranya oleh mereka yang bukan termasuk pecinta puisi.
Sapardi memang dikenal sebagai penyair yang mampu mengolah kata-kata
sederhana menjadi sebuah lirik puisi yang sarat makna. Dalam
kesederhanaannya, puisi Sapardi membuka ruang tafsir yang begitu luas.
Salah satunya adalah puisi Hujan Bulan Juni di atas.
Bila dicermati kata demi kata dan larik
demi lariknya, puisi di atas memiliki diksi yang sederhana, bahkan
sangat akrab dengan keseharian kita. Melalui kepiawaian Sapardi,
kesederhanaan kata-kata tersebut tidak sekedar dirangkai menjadi
larik-larik yang sangat indah, tetapi kata-kata tersebut juga diberinya
ruh. Sehingga membaca puisi tersebut, pembaca tidak sekedar membaca
deretan kata demi kata secara fisik, tetapi pembaca juga dibawa masuk ke
dalam suasana tertentu.
Dalam puisi di atas, ‘hujan’ tidaklah
sekedar butir air yang jatuh. Oleh Sapardi, ‘hujan’ seolah diberi sebuah
jiwa yang memiliki sifat-sifat tertentu (tabah, bijak, arif), dan kemudian dapat pula dilihat perilakunya (dirahasikannya, dihapusnya, dibiarkannya). Hal ini kian diperkuat dengan penggunaan majas personifikasi yang begitu dominan dalam larik-larik puisi tersebut.
‘Hujan’ dalam puisi tersebut seolah
menjelma menjadi tokoh yang begitu dekat dengan pembaca. Bahkan
barangkali dapat pula menjadi wakil/representasi diri pembaca sendiri.
Sebab bukan tidak mungkin, pembaca memiliki rasa yang sama dengan yang
dirasakan oleh hujan bulan juni tersebut, yaitu merasakan rindu atau
cinta yang ditahan, dirahasiakan, dan sengaja tidak diucapkan. Ya,
secara sederhana, puisi tersebut dapat ditafsirkan sebagai sebuah
kerinduan yang ditahan, yang dirahasiakan, yang coba dihapuskan, serta
yang sengaja untuk tidak diucapkan. Atau lebih jelasnya puisi tersebut
menggambarkan seseorang yang memiliki ‘rasa’ – mungkin rindu atau cinta
– kepada orang lain, tetapi karena ‘suatu hal’ seseorang tersebut
menjadi ragu-ragu, tidak memiliki keberanian, atau bahkan memang merasa
tidak mungkin untuk bisa menyampaikannya. Lantas, secara bijak dan arif,
keragu-raguannya serta ketidakberaniannya itu membuatnya untuk mencoba
menghilangkan/menghapuskan ‘rasa’ yang dimilikinya itu, dan membiarkanya
tetap tak tersampaikan.
Bila dikaitkan dengan kenyataan sehari-hari, judul puisi tersebut (Hujan Bulan Juni),
sepertinya memang merupakan sesuatu yang hampir mustahil. Sebab, bulan
Juni merupakan bulan yang masuk dalam rentang musim kemarau. Sehingga,
hujan tidak mungkin turun di bulan Juni. Terlebih bila kita melihat
angka tahun penciptaan puisi tersebut (1989), saat musim kemarau dan
musim hujan masih berjalan secara teratur. Nah, karena itulah, hujan
harus menahan diri karena tidak mungkin turun di bulan Juni. Jadi, dapat
ditafsirkan bahwa ‘hujan bulan Juni’ merupakan metafor dari ‘rindu atau
cinta yang ditahan, yang tak mungkin disampaikan’ .
Demikianlah, penafsiran singkat dan sederhana terhadap puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono. Dan tentu saja masih terbuka pula tafsir lain bagi puisi di atas. SalamSource: https://bektipatria.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar