HUJAN BULAN JUNI
Bulan Juni ialah musim kemarau, dan hujan dipastikan tidak turun.
Jika hujan rindu ingin bercumbu dengan bunga-bunga, maka ia harus
bersabar menunggu musim kemarau berlalu…
“Hujan Bulan Juni” memperlihatkan kekuatan Sapardi sebagai penyair
yang mampu keluar dari labirin kesunyian yang melahirkan kefanaan (Amir
Hamzah), kepasrahan (Chairil Anwar), atau amukan (Sutardji Calzoum
Bachri), menuju ruang kontemplasi yang mencerahkan….
__________________________________________________________________________
Catatan Ahmad Gaus
__________________________________________________________________________
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Puisi di atas berjudul
Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko
Damono — biasa disingkat SDD — yang ditulis pada 1989 dan dimuat dalam
antologi (kumpulan karangan) dengan judul yang sama.
Hujan Bulan Juni merupakan puisi yang sangat terkenal dan dideretkan dalam jajaran puisi cinta romantis bersama dengan puisi
Aku Ingin yang juga dimuat dalam antologi ini.1) Esai ini tidak secara khusus membahas
Hujan Bulan Juni
sebagai sebuah puisi melainkan sebagai antologi yang di dalamnya
terdapat 96 puisi karya SDD, yang bulan ini (Juni 2013) kembali
diterbitkan oleh kelompok penerbit Kompas-Gramedia.
Pertamakali
Hujan Bulan Juni diterbitkan oleh kelompok
penerbit Kompas-Gramedia (Grasindo) pada tahun 1994. Kemudian
diterbitkan kembali oleh penerbit Editum pada tahun 2009 tanpa perubahan
yang berarti. Puisi-puisi dalam
Hujan Bulan Juni ditulis antara tahun 1964-1994. Sebagian besar puisi di dalamnya pernah terbit dalam antologi
Duka-Mu Abadi (1969),
Mata Pisau (1974),
Akuarium (1974), dan
Perahu Kertas (1983).
Proses penyeleksian puisi yang pernah terbit dalam antologi yang
berbeda-beda untuk diterbitkan kembali dalam buku Hujan Bulan Juni
menunjukkan bahwa buku ini memang dianggap (paling) penting oleh
penulisnya.

SDD memilih sendiri sajak-sajaknya untuk buku ini dari sekian ratus
sajak yang pernah dihasilkannya selama 30 tahun (1964 – 1994). Mengenai
ini ia menulis bahwa ada “sesuatu yang mengikat sajak-sajak ini menjadi
satu buku.”2) SDD memang tidak menjelaskan apa sesuatu yang mengikat
itu. Namun, akunya, sajak-sajak lain tidak dimasukkan dalam antologi ini
karena suasananya — atau entah apanya — agak berbeda dengan buku ini.
Secara sepintas lalu judul buku
Hujan Bulan Juni yang
diambil dari salah satu judul puisinya menunjukkan bahwa suasana yang
ingin dibangun dalam buku ini ialah suasana “hujan” dengan berbagai
konotasi dan metafornya. Dari 96 puisi yang dimuat dalam
Hujan Bulan Juni terdapat 9 judul puisi yang memakai kata “hujan”. Judul-judul tersebut adalah:
Hujan
Turun Sepanjang Jalan, Hujan dalam Komposisi 1, Hujan dalam Komposisi
2, Hujan dalam Komposisi 3, Di Beranda Waktu Hujan, Kuhentikan Hujan,
Hujan Bulan Juni, Hujan-Jalak-dan-Daun-Jambu, Percakapan Malam Hujan. Dan satu judul yang senada:
Gerimis Kecil di Jalan Jakarta, Malang.
Kata “hujan” juga disebut dalam berbagai puisinya:
Pada Suatu Pagi Hari, Dalam Doa II, Aku Ingin, Puisi Cat Air untuk Rizki, Sepasang Sepatu Tua,
dan sebagainya. Kalau boleh menyebut puisi di luar antologi ini yang
juga menggunakan kata hujan, simak saja misalnya “Di Sebuah Halte Bis”
(Hujan tengah malam membimbingmu ke sebuah halte bis dan membaringkanmu
di sana), “Lirik untuk Lagu Pop” (jangan pejamkan matamu: aku ingin
tinggal di hutan yang gerimis), dan “Kepompong Itu” (…ketika kau menutup
jendela waktu hari hujan).
Walaupun banyak kumpulan puisi yang bertemakan hujan, tapi jelas
tidak ada yang “basah-kuyup” melebihi Hujan Bulan Juni. Belum lagi puisi
tentang hujan yang tidak dimasukkan dalam antologi ini seperti “Tajam
Hujanmu” dan “Kuterka Gerimis”, yang dimuat dalam antologi
Perahu Kertas.

Jika selama ini puisi-puisi tentang hujan selalu dikaitkan dengan
kesendirian, kehampaan, kerinduan, dan kesepian, maka tidak terlalu
keliru pandangan bahwa SDD ialah penyair sunyi yang melanjutkan tradisi
Amir Hamzah dan Chairil Anwar, terutama pada puisi-puisi awalnya. Simak
misalnya bait dalam puisi yang ditulis pada tahun 1967 berikut:
Hujan turun sepanjang jalan/ Hujan rinai waktu musim berdesik-desik pelan/ Kembali bernama sunyi..
Mengapa hujan begitu istimewa di mata penyair SDD, tentu ada rahasia
yang ingin dia kemukakan melalui pelukisannya atas peristiwa alam
tersebut. Berikut tiga contoh puisi berbeda tentang hujan, yang ditulis
dalam rentang waktu berjauhan:
Sihir Hujan
Hujan mengenal baik pohon, jalan, dan selokan
— swaranya bisa dibeda-bedakan;
kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu dan jendela.
Meskipun sudah kau matikan lampu.
Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan,
telah jatuh di pohon, jalan, dan selokan
— menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh
waktu menangkap wahyu yang harus kaurahasiakan
1982
Percakapan Malam Hujan
Hujan, yang mengenakan mantel, sepatu panjang, dan
payung, berdiri di samping tiang listrik. Katanya
kepada lampu jalan, “Tutup matamu dan tidurlah. Biar
kujaga malam.”
“Kau hujan memang suka serba kelam serba gaib serba
suara desah; asalmu dari laut, langit, dan bumi;
kembalilah, jangan menggodaku tidur. Aku sahabat
manusia. Ia suka terang.”
1973
Hujan Turun Sepanjang Jalan
Hujan turun sepanjang jalan…
Hujan rinai waktu musim berdesik-desik pelan…
Kembali bernama sunyi…
Kita pandang: pohon-pohon di luar basah kembali…
Tak ada yang menolaknya…kita pun mengerti, tiba-tiba
atas pesan yang rahasia…
Tatkala angin basah tak ada bermuat debu…
Tatkala tak ada yang merasa diburu-buru…
1967
Tidak ada diksi yang istimewa dalam ketiga puisi di atas. Semua kata
dipungut dari perbendaharaan sehari-hari yang ada di sekitar kita dan
akrab: jalan, selokan, mantel, sepatu, pohon, pintu, jendela, debu,
tiang listrik. Kata-kata sederhana itu juga dirangkai dalam larik dan
bait yang sederhana, nyaris tidak ada dentuman yang tercipta oleh
bangunan puisi tersebut. Ia hanya menceritakan suasana saat hujan turun.
Cara berceritanya pun sangat sederhana, tidak meledak-ledak.
Namun di balik kesederhanaannya, puisi-puisi tersebut menjadikan benda-benda itu seakan hidup. Kita dapat membayangkan
Hujan yang mengenakan mantel, sepatu panjang, dan payung, berdiri di samping tiang listrik.
SDD sangat piawai menghidupkan suasana melalui kata-kata yang
sederhana. Bait-bait yang tersusun dari kata-katanya menjadi sangat
indah manakala kita hanyut terbawa oleh suasana yang ia hidupkan melalui
proses imagery atau penggambaran. Sang penyair pada dasarnya memang
seperti pelukis yang menggambarkan sesuatu dengan kata-kata sehingga apa
yang dia lihat dan rasakan juga dapat dilihat dan dirasakan oleh
pembaca.3) Di dalam suasana yang sudah dihidupkan oleh penyairnya
melalui kata-kata (pada contoh tiga puisi di atas), kita tidak lagi
bertemu dengan hujan sebagai benda mati, melainkan makhluk hidup entah
malaikat atau manusia, bahkan seseorang yang misterius namun humoris
seperti pada puisi “Percakapan Malam Hujan”.
Dalam puisi
Hujan Bulan Juni yang menjadi judul antologi
ini, goresan tangan SDD pada kanvas puisinya bahkan terasa lebih lembut.
Kesederhanaan kata tetap dijaga. Bangunan puisi tegak dengan tiang
pancang bait-bait yang transparan. Pengungkapannya halus, alur pikirnya
jernih. Puisi ini sering diartikan sebagai ketabahan dari seseorang yang
sedang menanti. Sebab, bulan Juni ialah musim kemarau, dan hujan
dipastikan tidak turun. Jika ia (hujan) ingin bertemu dengan pohon
bunga, maka ia harus bersabar menunggu musim kemarau berlalu.
Di sini SDD tidak lagi bicara tentang sunyi yang gelisah. Ia bahkan
tidak menonjolkan si aku-lirik. Kalaupun ada, si aku-lirik hanya
menceritakan perilaku hujan yang merahasiakan rindu, menghapus jejak,
dan membiarkan isi hatinya. Hujan dipersonifikasi sebagai makhluk yang
berjiwa dengan sifat dan perilaku tertentu. Ini juga tampak pada ketiga
puisi di atas.
Dengan menerbitkan kembali puisi-puisinya dalam
Hujan Bulan Juni
yang merefleksikan aneka pengalaman batin dan perjalanan hidup yang
terus bergerak, SDD tampaknya ingin jatidiri kepenyairannya dilihat
kembali, tidak melulu diletakkan di ruang sunyi. Sebab, sebagaimana
diakuinya dalam kata pengantar buku ini, ia tidak tahu apakah selama 30
tahun itu ada perubahan stilistik dan tematik dalam puisinya. Seorang
penyair, ujarnya, belajar dari banyak pihak: keluarga, penyair lain,
kritikus, teman, pembaca, tetangga, masyarakat luas, koran, televisi,
dan sebagainya.
Esai ini berpandangan bahwa SDD tidak hendak menancapkan tonggak
kepenyairannya di ruang estetika sunyi yang telah terbangun dengan
megahnya sejak masa kejayaan Amir Hamzah. Kita tahu bahwa puisi-puisi
awal SDD, kendatipun dipandang sebagai pembebasan dan penemuan baru,4)
tetap saja diletakkan di dalam
mainstream puisi tentang kesunyian. Salah satu puisinya,
Solitude (1965),
yang menyuarakan “jagat sunyi” bahkan disebut sebagai visi estetika
kepenyairannya, dimana puisi-puisi sebelum dan sesudah itu hanyalah…
“dinamika visi estetik dalam keseluruhan kepenyairan SDD.”5) Senada
dengan itu, penyair Goenawan Mohamad menyebut antologi puisi SDD yang
pertama,
Duka-Mu Abadi, sebagai
Nyanyi Sunyi kedua (setelah
Nyanyi Sunyi yang pertama diciptakan oleh Amir Hamzah).6)
Jika kesunyian dipandang sebagai tema utama dalam puisi-puisi
Sapardi, lantas di mana letak kepeloporannya dalam jagat perpuisian
tanah air? Bukankah tema itu telah sangat mapan di tangan para penyair
besar sejak Amir Hamzah, Chairil Anwar, Goenawan Mohamad, dan puncaknya
pada Sutardji Calzoum Bachri? Jika kita memotret SDD dari
Duka-Mu Abadi memang
akan terbentang hamparan kesunyian yang—boleh jadi—merupakan kelanjutan
dari “tradisi” perpuisian sebelumnya, kendatipun ia membunyikan
kesunyian itu dengan cara yang berbeda. Namun saya berpandangan bahwa
Hujan Bulan Juni-lah
yang merupakan tonggak kepenyairan SDD. Antologi ini memperlihatkan
kekuatan SDD sebagai penyair yang mampu keluar dari labirin kesunyian
yang melahirkan kefanaan (Amir Hamzah), kepasrahan (Chairil Anwar), atau
amukan (Sutardji Calzoum Bachri), menuju ruang kontemplasi yang
mencerahkan.

Puisi-puisi dalam
Hujan Bulan Juni lebih dari sekadar
membunyikan kesunyian melalui ungkapan perasaan yang melimpah, melainkan
juga menghadirkan kesadaran intelektual penyairnya. Sejumlah puisinya
tentang kematian, misalnya, memang menghadirkan kesunyian yang mencekam,
namun jika dicermati lagi sebenarnya merupakan renungan filosofis yang
mendalam, seperti pada puisi
Tentang Seorang Penjaga Kubur yang
Mati, Saat Sebelum Berangkat, Iring-iringan di Bawah Matahari, Dalam
Kereta Bawah Tanah Chicago, Ajaran Hidup, dan lain-lain. Begitu juga puisi-puisinya
Tiga Lembar Kartu Pos, Pada Suatu Hari Nanti, Dalam Diriku, Tuan, Yang Fana Adalah Waktu,
dan lain-lain, yang bertemakan hidup, waktu, dan Tuhan — semuanya
merupakan lukisan kesunyian yang, lagi-lagi, merefleksikan perenungan
intelektual yang dalam.
Dalam puisi
Hujan Bulan Juni SDD mempertentangkan dua
realitas, membuat paradoks (hujan yang turun di musim kemarau), yang
memungkinkan keniscayaan, sebagai gambaran dari pribadinya yang
senantiasa terlibat dan optimistis. Paradoks atau pertentangan itulah
yang menjadi kekuatan khas SDD sebagai seorang penyair. Hal itu juga
tercermin dari pemakaian kata-kata yang sederhana namun menyimpan makna
yang dalam.7).
Seraya menutup uraian ini mari kita simak tiga puisi dari antologi
Hujan Bulan Juni yang menjelaskan paradoks yang dimaksud.
DALAM DIRIKU
dalam diriku mengalir sungai panjang,
darah namanya;
dalam diriku menggenang telaga penuh darah,
sukma namanya;
dalam diriku meriak gelombang sukma,
hidup namanya!
dan karena hidup itu indah,
aku menangis sepuas-puasnya.
1980
YANG FANA ADALAH WAKTU
Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa
“Tapi,
yang fana adalah waktu, bukan?”
tanyamu. Kita abadi.
1978
TUAN
Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar,
saya sedang keluar.
1980
Catatan:
1). Puisi
Aku Ingin hanya terdiri dari dua bait:
Aku ingin
mencintaimu dengan sederhana/ dengan kata yang tak sempat diucapkan/kayu
kepada api yang menjadikannya abu// Aku ingin mencintaimu dengan
sederhana/ dengan isyarat yang tak sempat disampaikan/ awan kepada hujan
yang menjadikannya tiada. Salah satu indikasi kepopularan dua
puisi tersebut ialah telah dibuat musikalisasi puisi oleh Ags. Arya
Dipayana (Aku Ingin), dan H. Umar Muslim (Hujan Bulan Juni). Puisi
Hujan Bulan Juni juga telah dikomikkan oleh Mansjur Daman, komikus silat pencipta serial Mandala. Sementara itu puisi
Aku Ingin sering dicetak dalam surat-surat undangan pernikahan.
2). Kata Pengantar Sapardi Djoko Damono dalam
Hujan Bulan Juni (Jakarta: Grasindo, 1994).
3). A.F. Scott,
Curren Literary Term: A Concise Dictionary
(London: The Macmilland Press, 1980), p. 139). Lebih jauh mengenai
penggambaran (imagery) atau gambar (image) dalam puisi lihat juga,
Rachmat Djoko Pradopo,
Pengkajian Puisi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994) dan Suminto A. Sayuti,
Puisi dan Pengajarannya (Yogyakarta: Yasbut FKSS IKIP Muhammadiyah, 1985).
4). Pengakuan ini disampaikan oleh Goenawan Mohamad. Dikutip dari
Hasan Aspahani, “Kenapa Mesti Ada Sore Hari? Kajian Ringkas Duka-Mu
Abadi Hingga Kolam”, dalam Riris K. Toha-Sarumpaet dan Melani Budianta,
eds.,
Membaca Sapardi (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), hal. 253
5). Suminto A. Sayuti, “Puisi Sapardi: Sebuah Jagat Sunyi”, dalam Riris K. Toha-Sarumpaet dan Melani Budianta, eds.,
ibid., hal. 57
6). Dikutip dari Suminto A. Sayuti, dalam Riris K. Toha-Sarumpaet dan Melani Budianta, eds.,
ibid., hal. 61
7). Maman S. Mahayana, “Paradoks”, dalam Riris K. Toha-Sarumpaet dan Melani Budianta, eds.,
ibid., hal. 161
Source:
http://ahmadgaus.com