Senin, 23 September 2013

Resensi Buku JALAN RAYA POS, JALAN DAENDELS


JALAN RAYA POS, JALAN DAENDELS 
Judul      : Jalan Raya Pos, Jalan Daendels
Penulis   : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Cetakan : I, Oktober 2005
Tebal      : 145 hal
ISBN      : 979-97312-8-3


Novel Jalan Raya Pos, Jalan Daendels karangan Pramoedya Ananta Toer adalah sebuah Novel Sejarah yang menguraikan kebijakan Herman Willem Daendels yang sedang berkuasa di Hindia Belanda dengan membangun jalan raya pos dari Anyer sampai Panarukan. Daendels memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos melalui penjatahan pada para bupati yang kabupatennya dilalui jalan itu. Penanggung jawab teknis dari pekerjaan rodi ini, namun yang tidak dapat menyelesaikan pekerjaan yang telah ditentukan, akan digantung sampai mati pada dahan-dahan pohon sekitar proyek. Tidak terhitung lagi pekerja yang mati, karena malaria, karena kelaparan, karena kelelahan. Jalan ini termasuk jalan terpanjang didunia pada masanya karena terbentang disepang pulau Jawa, sama dengan jalan raya Amsterdam Paris.

 Nyatanya bukan Daendels yang membuat seluruh jalan raya pos ini. Berabad sebelumnya bagian terbesar jalan raya pos ini sudah ada. Jalan Raya Pos atau yang lebih dikenal sebagai Jalan Daendels merupakan proyek yang sangat penting saat itu. Membentang 1.000 kilometer di bagian utara Pulau Jawa dari Anyer di Provinsi Banten saat ini Hingga Panarukan di Jawa Timur. Dibangun “hanya” dalam waktu satu tahun dengan mengerahkan tenaga rodi rakyat Hindia Belanda yang tak berdosa.

Pembangunannya yang demikian ini menjadikan proyek ini sebagai salah satu tragedi pembantaian terbesar dalam sejarah Hindia Belanda. Diperkirakan 12.000 (ini hanya angka perkiraan yang dibuat pemerintah kolonial Inggris, bisa saja lebih) rakyat tak berdosa tewas karena kerja paksa dan wabah malaria selama pembangunan jalan ini. Sebuah peringatan untuk kita para generasi penerus.

Daendels menurut novel jalan raya pos, jalan Daendels ini tidak seutuhnya membuat jalan yang sepanjang 1.000 kilometer ini, namun Daendels hanya melebarkan sampai 7 meter. Semua batu untuk peninggian dan pengerasan, rakyat kecil, para petani, harus setor, dan tanpa imbalan, atau dengan imbalan, hanya saja orang-orang atasan tertentu yang menerimanya. Atasan disini ialah para pembesar orang berkulit putih atau coklat, atau juga putih dan coklat. Bukan menjadi rahasia lagi, bahwa pada era kompeni adalah zaman maraknya korupsi. Residen atau asisten Residen yang sedang dinas atau setelah dinas, sudah menjadi tuan tanah. Lebih kaya, dan lebih berkuasa, di kerajaannya sendiri daripada sebagai pejabat kolonial.

Pram dengan begitu teliti menampilkan data-data historis yang begitu detail berikut pengalaman-pengalamannya dalam buku ini. Secara sekilas namun cukup jelas dan mendetail, Pram juga menyisipkan kisah-kisah pembantaian yang pernah menimpa bangsa ini, baik oleh kaum penjajah maupun oleh bangsa Indonesia sendiri. Secara terstruktur Pram menjelaskan proses pembangunan Jalan Daendels sejak dari titik nol di Anyer hingga Panarukan. Dari kota ke kota Pram menyajikan fakta-fakta menarik dan data-data historis tentang proses pambangunan jalan ini. Dan ternyata Jalan Daendels bukanlah sebuah jalan “baru” yang dibangun oleh Daendels. Beberapa ruas jalan telah ada sejak berabad-abad sebelum orang Eropa menginjakkan kakinya di Pulau Jawa. Daendela hanya memperlebar dan memperbaiki infrstruktur jalan sehingga dapat dilalui segala jenis kendaraan. Data-data mengenai jalan kuno tersebut dengan metode penuturan disajikan dengan sangat baik oleh Pram. Hal ini tentu saja tak lepas dari pandangan politik Pram yang kontroversial dan ada yang menganggap “kekiri-kirian”. Hanya saja intensitasnya tak seberapa jika dibandingkan dengan karya-karyanya yang terdahulu. Jika di perhatikan dengan seksama, beberapa kali Pram terasa tak fokus dan mengalihkan topik pembicaraan ke masalah lain yang kurang berhubungan dengan materi yang sedang dibahasnya. Hal ini dapat kita temui di beberapa bagian buku ini.

Untuk pembaca yang kurang sabar barangkali akan menimbulkan kebingungan. Dan lagi, di beberapa bagian cukup terasa kalau Pram sedang “marah-marah”. Namun begitu, karya kecil Pram ini patut kita beri apresiasi yang terhormat. Di masa senjanya Pram masih mampu menyajikan sebuah reportase sejarah yang sedemikian detail dan cukup akurat. Sebuah prestasi yang tak banyak dimiliki penulis-penulis negeri ini.

Seperti halnya nasib bangsa ini di masa lalu, Pram sendiri merupakan sosok penulis Indonesia yang kontroversial dan penuh vitalitas. Dikucilkan oleh komunitas sastrawan karena track record-nya sebagai budayawan LEKRA yang vokal dan tak kenal kompromi, tapi juga dipuji karena kualitas karya-karyanya yang mendunia. Ini karenakan Pram mencoba menyajikan sebuah tulisan yang terlihat realis, dan sesuai dengan kenyataan yang ada.

Didalam Novel Jalan Raya Pos, Jalan Daendels pun Pram dengan terperinci menjelaskan setiap kota-kota yang dilalui jalan raya pos ini sesuai dengan historis dan kejadian-kejadian yang terjadi. Didalam novel tersebut Pram menjelaskan setiap kota yang dilalui jalan raya pos ini. Adapun kota-kota yang dilalui oleh pembangunan Jalan Raya Pos adalah Blora-Rembang, Lasem, Anyer, Cilegon, Banten, Serang, Tangerang, Batavia, Meester Cornelis/Jatinegara, Depok, Buitenzorg/Bogor, Priangan, Cianjur, Cimahi, Bandung, Sumedang, Karangsembung, Cirebon, Losari, Brebes, Tegal, Pekalongan, Batang, Waleri, Kendal, Semarang, Demak, Kudus, Pati, Juwana, Rembang, Tuban, Gresik, Surabaya, Wonokromo, Sidoarjo, Porong, Bangil, Pasuruan, Probolinggo, Kraksaan, Besuki, Panarukan.

Buku ini ditulis dengan mengalir, tanpa pembagian bab. Pada halaman-halaman awal Pram menguraikan awal ketertarikannya pada Jalan Raya Pos yang memakan banyak korban jiwa para pekerja paksa yang ia golongkan sebagai genosida. Ia juga menyinggung beberapa genosida yang awalnya dilakukan oleh Jan Pietersz Coen (1621) di Bandaneira, Daendels dengan Jalan Raya Posnya (1808), Cuulturstelsel alias tanam paksa, genosida pada zaman Jepang di Kalimantan, genosida oleh Westerling (1947) hingga genosida terbesar dalam sejarah bangsa Indonesia di awal-awal pemerintahan Orde Baru.

Setelah mengurai sejarah tercetusnya ide pembuatan Jalan Raya Pos di benak Daendels, di halaman-halaman selanjutnya Pram membagi bukunya ini berdasarkan kota-kota yang dilewati dan berada di sepanjang Jalan Raya Pos. Pram mencatat dan mengurai 39 kota yang berada dalam jalur Jalan Raya Pos, baik kota-kota besar seperti Batavia, Bandung, Semarang, Surabaya, maupun kota-kota kecil yang namanya jarang terdengar oleh masyarakat umum seperti Juwana, Porong, Bangil dan lain-lain. Secara rinci Pram mengungkap sejarah terbentuknya kota-kota tersebut, dampak sosial saat dibangunnya Jalan Raya Pos, hingga keadaan kota-kota tersebut pada masa kini.

Masa-masa kelam ketika Jalan Raya Pos dikerjakan terungkap di buku ini. Sampai di kota Sumedang pembangunan jalan harus melalui daerah yang sangat berat ditembus, di daerah Ciherang Sumedang, yang kini dikenal dengan nama Cadas Pangeran. Di sini para pekerja paksa harus memetak pegunungan dengan peralatan sederhana, seperti kampak, dan lain-lain.

Dengan medan yang demikian beratnya untuk pertama kalinya ada angka jumlah korban yang jatuh mencapai 5000 orang. Ketika pembangunan jalan sampai di daerah Semarang, Daendels mencoba menghubungkan Semarang dengan Demak. Kembali medan yang sulit menghadang. Bukan hanya karena tanahnya tertutup oleh rawa-rawa pantai, juga karena sebagian daripadanya adalah laut pedalaman atau teluk-teluk dangkal. Untuk itu kerja pengerukan rawa menjadi hal utama. Menurut Pram didalam Novelnya itu, walau angka-angka korban di daerah ini tidak pernah dilaporkan, mudah diduga betapa banyak para pekerja paksa yang kelelahan dan kelaparan itu menjadi korban malaria. (2008: 94) Sumber Inggris melaporkan seluruh korban yang tewas akibat pembangunan Jalan raya Pos sebanyak 12.000 orang. Itu yang tercatat, diyakini jumlah korban lebih dari itu. Tak pernah ada komisi resmi yang menyelidiki. Selain mengungkap sisi-sisi kelam di balik pembangunan Jalan Raya Pos, Pram juga senantiasa menyelipkan penggalan kenangan-kenangan masa muda dirinya pada kota-kota di sepanjang Jalan Raya Pos yang pernah ia singgahi.
Ada kenangan yang pahit, mengesankan, dan lucu yang pernah dialaminya di berbagai kota yang ditulisnya di buku ini. Sebut saja pengalaman lucu ketika Pram muda yang sedang bertugas sebagai tentara di daerah Cirebon. Buku ini diutup dengan bab "Dan Siapa Daendels" yang ditulis oleh Koesalah Soebagyo Toer.

Dalam bab ini diuraikan biografi singkat Daendels. Selain itu bagian daftar pustaka yang menyajikan sumber-sumber pustaka yang digunakan Pram untuk menyusun buku ini mencakup buku-buku yang terbit pada pertengahan abad ke-19 hingga akhir abad ke-20. Tak heran jika membaca karya ini pembaca akan mendapatkan hal-hal yang detail mengenai sejarah kota yang dilalui oleh Jalan Raya Pos. namun sayangnya buku ini tidak memuat peta yang secara jelas menggambarkan rute-rute Jalan Raya Pos. Buku ini hanya menyajikan reproduksi dari peta kuno yang diambil dari Rijks Museum Amsterdam. Peta yang tak menggambarkan Pulau Jawa secara utuh dan huruf yang tak terlihat pada peta tersebut tentu saja menyulitkan pembaca untuk memperoleh gambaran akan sebuah jalan yang dibuat Daendels sepanjang Anyer hingga Panarukan ini.

Source:
  • Bahan Ajar Mata Kuliah Sastra Dalam Pembelajaran Sejarah Loomba, Ania. 2003. Kolonialisme/Pascakolonialisme. Bentang Budaya, Yogyakarta Ricklefs,M.C. 2008.
  • Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Serambi, Jakarta.
  • Toer, Pramoedya Ananta. 2008. Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, Lentera Dipantara, Jakarta,
  •  http://id.wikipedia.org/wiki/Jalan_Raya_Pos,_Jalan_Daendels http://sejarawanmuda.wordpress.com/2011/04/10/jalan-raya-pos-jalan-daendels-pram’s-last-masterpiece/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar